Pengelolaan Baitul Hikmah Pada Masa Pemerintahan Khalifah Al-Makmun
Fitria Ulfa
Pasca Sarjana Universitas
Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh
Fitria6611@gmail.com
Abstrak:
Masa pemerintahan Al- Makmun merupakan periode kejayaan ilmu
pengetahuan dalam periode kekuasaan Daulah Abbasiyah. Khalifah Al-Makmun
merupakan seorang pemimpin yang memiliki ilmu pengetahuan luas dan mendalam
sehingga mengetahui pencapaian diri dari kualitas keilmuwan Yahya bin Aktsam.
Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul Hikmah yang telah didirikan ayahnya Harun
Ar-Rasyid sebagai akademi ilmu pengetahuan pertama di dunia. Lembaga ini
menjadi tanda kekuatan penuh kebangkitan timur, dimana Baghdad menjadi pusat
kebudayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam.
Kata
Kunci: Baitul Hikmah, Khalifah Al-Makmun, Ilmu
pengetahuan
A. Pendahuluan
Masa
Abbasiyah merupakan masa keemasan ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam.
Keadaan itu terjadi karena peran para khalifah dan kebijakan- kebijakan yang
mereka terapkan. Khalifah Al-Manshur,
Ar-Rasyid dan Al-Makmun, mereka adalah khalifah-khalifah yang sangat peduli
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Ar-Rasyid dan Al-Makmun adalah khalifah
pertama yang membuat dan melaksanakan kebijakan tentang kewajiban talabul
ilmi. Pada masa khalifah Al-Manshur (754-775) khalifah kedua dari dinasti
Abbasiyah mendirikan biro penerjemahan di Baghdad. Kemudian pada masa
pemerintahan Harun Ar-Rasyid lembaga ini bernama Khizanah Al-Hikmah yang
berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penelitian. Pada tahun 815 Al-Makmun
mengembangkan lembaga ini dan mengubah namanya dengan Bayt Al-Hikmah, perpustakaan
ini menyerupai Universitas yang bertujuan untuk membantu perkembangan ilmu pengetahuan, mendorong penelitian, dan
mengurusi terjemahan teks-teks penting. Koleksi buku perpustakaan Baghdad
berjumlah 400 hingga 500 jilid.
Dinasti Abbasiyah pada awal
kekuasaannya dipimpin oleh para khalifah-khalifah yang kuat, seperti Abu Jafar,
Al-Manshur, Ar-Rasyid dan Al-Makmun mengalami kegemilangan sehingga mampu
memimpin dunia selama beberapa abad. Pada saat itu peradaban islam adalah
peradaban yang terdepan, Universitasnya adalah tempat berkumpul para sarjana
yang datang untuk menuntut ilmu baik dari Eropa maupun dari tempat lainnya.[1]
Aktifitas keilmuwan pada masa Al-Makmun mencapai masa keemasan dalam sejarh
kemajuan islam, karena khalifah sendiri adalah seorang ulama besar. Majelis
Al-Makmun penuh dengan para ahli hadis, ahli sastra, ahli kedokteran dan ahli
filsafat. Mereka diundang oleh Al-Makmun dari segala penjuru dunia yang telah
maju dan juga Al-Makmun berperan aktif dalam berdiskusi dan berdebat dengan
para ahli tersebut.[2]
Untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Makmun
memperluas Baitul Hikmah yang telah didirikan ayahnya Harun Ar-Rasyid sebagai
akademi ilmu pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi
lembaga perguruan tinggi, perpustakaan dan tempat penelitian. Lembaga ini
memiliki ribuan buku ilmu pengetahuan. Lembaga lain yang didirikan Al-Makmun adalah
Majalis Al-Munazharah sebagai lembaga pengkajian keagamaan yang
diselenggarakan di masjid-masjid, rumah-rumah dan istana khalifah. Lembaga ini
tanda kekuatan penuh kebangkitan timur , dimana Baghdad mulai menjadi pusat
kebudayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam.[3]
Baitul Hikmah adalah salah satu dari
tiga puluh enam perpustakaan di Baghdad[4]
sebuah kombinasi yang baik dari sebuah perpustakaan, akademi dan sarana
penerjemahan yang didirikan oleh khalifah Abbasiyah, Al-Makmun sekitar tahun
318 H, diantara perpustakaan yang lainnya adalah perpustakaan Umar Al-Waqidi
(736 H), perpustakaan Sekolah Tinggi Nidzamiyah (1064 H), perpustakaan Sekolah
Mustansiriyah (1233 H), perpustakaan Al-Baiqani dan masih banyak perpustakaan
lainnya. Perpustakaan Abbasiyah di Baghdad berdiri dalam kaitannya dengan
akademi Bayt Al-Hikmah “gedung hikmah” atau Dar Al-Ilmi “tempat
pendidikan” yag didirikan oleh khalifah Al-Makmun (813-833 H) atau mungkin
sebelum ayahnya Harun Ar-Rasyid (789- 809 H). tugas pertama akademi itu adalah
untuk menyimpan terjemahan-terjemahan buku “ilmu-ilmu kuno” yaitu filsafat
hellenistik dan ilmu alam.[5]
Berdasarkan uraian diatas, maka
penulis ingin mengetahui bagaimana cara pengelolaan Baitul Hikmah dan apa saja
upaya dalam pengelolaan baitul hikmah yang ada pada masa pemerintahan khalifah Al-Makmun. Oleh karena itu, kajian
ini mengambil judul: Pengelolaan Baitul Hikmah Pada Masa Pemerintahanan
khalifah Al-Makmun
B. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk pada jenis
penelitian kualitatif dengan analisis data menggunakan metode analisis
deskriptif. Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang digunakan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis
fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, presepsi orang
secara individual maupun kelompok.[6]
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan adalah dengan studi kepustakaan (library
research) yaitu dengan cara membaca dan memahami tulisan yang terkait dengan
judul penelitian ini. Tekhnik pengumpulan data juga menggunakan tekhnik
dokumentasi yaitu tekhnik pengumpulan data dengan cara melihat catatan peristiwa
yang sudah berlalu dan dapat berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya
monumental seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian,
sejarah kehidupan ( life histories ), cerita biografi dan sebagainya.[7]
Salah satu jenis penelitian bila
dilihat dari tempat pengambilan data adalah penelitian kepustakaan ( library
research). Disebut penelitian kepustakaan karena data-data atau bahan-bahan
yang diperlukan dalam menyelesaikan penelitian tersebut berasal dari
perpustakaan baik berupa buku, enksklopedi, kamus, jurnal, dokumen, majalah dan
lain sebagainya. Dalam sumber bacaan, seorang peneliti harus selektif sebab
tidak semua dijadikan sebagai sumber data. Menurut Supadi Suryabrata paling
tidak ada dua kriteria yang biasa digunakan untuk memilih sumber bacaan yaitu
(1) prinsip kemutakhiran (recency) dan (2) prinsip relevansi (relevance)
kecuali untuk penelitian historis, perlu dihindarkan penggunaan sumber bacaan
yang sudah lama dan dipilih sumber yang lebih mutakhir. Sumber yang telah lama
mungkin memuat teori-teori atau konsep-konsep yang sudah tidak berlaku lagi,
karena kebenarannya telah dibantah oleh teori yang lebih baru atau hasil
penelitian yang lebih kemudian.[8]
C. Pembahasan
1.
Khalifah Al-Makmun
Nama lengkapnya adalah Al- Makmun bin Harun Ar-Rasyid bin Muhammad
Al- Mahdi. Ibunya adalah seorang ummu walad bernama Murajil. Dia lahir
tahun 170 H, tepat pada hari pengangkatan ayahnya sebagai khalifah. Ayahnya
mengangkatnya sebagai putra mahkota saat itu baru berusia 13 tahun setelah
saudaranya Muhammad Al- Amin. Pengasuhannya diserahkan kepada Ja’far bin Yahya.
Harun Ar-Rasyid mengangkatnya sebagai walikota Khurasan dan sekitarnya hingga
Hamadzan dan memberinya keistimewaan sebagai daerah otonom.
Abdullah Al-Makmun dibaiat sebagai khalifah umat islam pada tanggal
25 Muharram tahun 198 H bertepatan dengan 5 September tahun 813 H,
pemerintahannya berlangsung selama beberapa tahun hingga ia wafat dalam perang
di Tharasus tanggal 19 Rajab tahun 218 H bertepatan dengan 10 Agustus tahun 832
M. Masa kekhalifahannya berlangsung selama 20 tahun 5 bulan 3 hari. Ia menetap
di Khurasan sejak masa pengangkatannya sebagai khalifah hingga pertengahan
bulan Safar tahun 204 H, yang merupakan masa kedatangannya ke Baghdad dan
sisanya dihabiskan di Baghdad yang merupakan ibukota kekhalifahan Bani
Abbasiyah. [9]
Khalifah Al-Makmun memulai di Baghdad yang merupakan ibukota
kekhalifahan Bani Abbasiyah dan kediaman nenek moyangnya. Sejak saat itu,
dimulailah pemerintahannya yang sesungguhnya dan tampaklah
keistimewaan-keistimewaan etikanya yang terhormat dan tidak dapat dibandingkan
dengan seorang pun dari anggota keluarganya. Al-Makmun menerapkan kebijakan
yang ramah dan lembut yang tidak dihinggapi kelemahan, kuat dan tidak diikuti
kekejaman, hingga Baghdad bersiap-siap menggapai kemajuannya kembali yang
pernah diraihnya pada masa pemerintahan ayahnya. Gerakan ilmiah pun semakin
besar pada masanya karena kecenderungan Abdullah Al- Makmun yang luar biasa
pada penguatan gerakan tersebut.
Khalifah Al-Makmun merupakan seorang pemimpin yang memiliki ilmu
pengetahuan luas dan mendalam sehingga mengetahui pencapaian diri dari kualitas
keilmuwan Yahya bin Aktsam, dengan segenap kecerdasan dan keterampilannya.
Dengan kepribadiannya yang demikian itu, maka ia pun menjadi teladan dan
percontohan bagi hakim-hakim agung yang lain dan banyak menimba ilmu darinya.
Ia juga pandai mengorganisasi anggota kerajaan anggota kerajaan dan pemerintahannya.
Karena itu, kementrian tidak mengambil langkah dan kebijakan apapun kecuali
setelah diperiksa oleh Yahya bin Aktsam.[10]
Masa pemerintahan Al- Makmun merupakan periode kejayaan ilmu
pengetahuan dalam periode kekuasaan Daulah Abbasiyah. Hal ini dikarenakan dua
faktor: (1) khalifah Al-Makmun adalah orang yang menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk ilmu pengetahuan dan mendalaminya ketika berada di Marwu. Ia
banyak berinteraksi dengan para ulama, menimba ilmu pengetahuan agama dari
mereka seperti hadist, fiqih, bahasa arab dan tafsir. Karena itu ia merupakan
sosok pemimpin yang mencintai ilmu pengetahuan dan bersemangat untuk
mengembangkannya. (2) bangsa dan umat islam ketika itu sangat merindukan ilmu
pengetahuan dan berpetualang untuk mencarinya, dan banyaknya ulama di setiap
kota-kota umat islam. Pandangan kepala Negara bersinergi dengan kesiapan
rakyatnya, sehingga sangat potensial bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
kemajuannya serta meninggikan eksitensi Baghdad.
Khalifah Al-Makmun, pengganti Ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah
yang sangat cinta pada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penterjemahan buku-buku
Yunani, Al-Makmun menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan
penganut agama lain yang ahli. Al- Makmun banyak mendirikan sekolah dan salah
satu karya yang terpenting dalam pembangunan Bait Al-Hikmah yang digunakan
sebagai pusat penerjemahan dan juga berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan
perpustakaan yang besar. Maka pada
Al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[11]
Al-Makmun adalah seorang ahli politik yang pandai sekali mengatur negeri. Dan
dia juga seorang yang alim dan filosof besar yang banyak membaca
karangan-karangan ahli fikir Yunani kuno. Perhatiannya yang besar terhadap ilmu
dunia dan akhirat, mengembalikan Baghdad ke zaman ayahnya dahulu, yaitu Baghdad
menjadi pusat ahli lmu pengetahuan yang datang dari berbagai negeri dan
khalifah sendirilah yang menjadi kepalanya. Kitab-kitab bahasa asing, persia,
Hindustan, Siryam, Yunani, Romawi dan latin yang berisi ilmu pengetahuan yang
berfaedah disuruh menerjemahkan dan diberikan imbalan yang besar kepada para
penerjemah itu.[12]
2. Pengelolaan Baitul Hikmah pada Masa Pemerintahan Khalifah
Al-Makmun
Baitul hikmah merupakan perpustakaan besar islam yang didirikan
pada awal abad IX M oleh khalifah Harun Ar-Rasyid yang terletak di jantung kota Baghdad. Usaha
Ar-Rasyid kemudian diteruskan oleh anaknya Al-Makmun, perpustakaan itu dikenal
dengan sebutan “ Darul Ilmi” atau “
Baitul Hikmah” yaitu suatu lembaga yang menyerupai universitas yang bertujuan
untuk membantu perkembangan ilmu, mendorong penelitian, dan mengurusi
terjemahan teks-teks penting. Baitul
hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan
ilmu pengetahuan. Institusi ini merupakan kelanjutan dari institusi serupa di
masa imperium Sasania Persia yang bernama Jundishapur Academy. Namun,
berbeda dari institusi pada masa Sasania yang hanya menyimpan puisi-puisi dan
cerita-cerita untuk raja. Pada masa Abbasiyah, institusi ini diperluaskan
penggunaannya. Pada masa Harun Ar-Rasyid, institusi ini bernama Khizanah
Al-Hikmah ( Khazanah kebijaksanaan) yang berfungsi sebagai perpustakaan dan
pusat penelitian. Sejak 815 M, Al-Makmun mengembangkan lembaga ini dan diubah
namanya menjadi Baitul Hikmah. Pada masa ini Baitul Hikmah dipergunakan secara
lebih maju yaitu sebagai tempat penyimpanan buku-buku yang didapat dari Persia,
Bizantium, dan bahkan Etiopia dan India. Dia institusi ini Al-Makmun
mempekerjakan Muhammad Ibnu Musa Al-Khawarizmi yang ahli di bidang aljabar dan
astronomi. Orang-orang Persia juga masih dipekerjakan di Baitul Hikmah ini.
Direktur perpustakaan Baitul Hikmah sendiri adalah seorang nasionalis Persia dan ahli Pahlewi, Sahl Ibnu Harun.
Dibawah kekuasaan Al-Makmun, Baitul Hikmah tidak hanya berfungsi sebagai
perpustakaan tetapi juga sebagi pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan
matematika. [13]
Baitul hikmah akhirnya menjadi tempat berkumpulnya para peneliti,
ilmuwan serta pencari ilmu dari berbagai negara. Ibnu Sina, Ibnu Nadim, Abu
Yusuf Al-Baladzari dan lain-lain adalah ilmuwan- ilmuwan besar yang meramaikan
Baitul Hikmah. Bahkan Baitul Hikmah kemudian menjadi tempat berkumpulnya
bermacam-macam profesi dari mulai ilmuwan, tukang cetak, sampai tukang jilid
berkumpul disana. Tentu saja aktifitas tersebuat akan menciptakan sebuah
industri. Bahkan dari sinilah, umat islam menjadi pencetus industri kertas dan
percetakan. Baitul Hikmah telah mendatangkan efek yang penting bagi kehidupan
intelektual waktu itu serta menjadi referensi umum, Baitul Hikmah benar-benar
menjadi tempat ilmu pengetahuan yang sangat berharga.[14]
Pengelolaan Baitul Hikmah meliputi:
1.
Gedung Bangunan Baitul Hikmah
Pembangunan gedung
khusus yang menjadi cikal bakal Baitul hikmah dibangun oleh Al-Makmun (815-833
M) Baitul Hikmah adalah bangunan yang terdiri dari berbagai ruangan. Setiap
ruangan terdiri dari tempat buku (khazanah) yang diberi nama sesuai nama
pendirinya, seperti khazanah Ar-Rasyid dan khazanah Al-Makmun.
Bangunan yang menyatu dengan istana khalifah itupun memiliki berbagai divisi.
Ada divisi untuk menyimpan buku, menerjemah, mencetak, menulis, menjilid dan
meneliti. Perpustakaan besar ini di desain khusus, didalamnya juga terdapat
sebuah ruang baca yang sangat nyaman,dan sebuah ruang bawah tanah sebagai
tempat tinggal dan ruang belajar bagi orang-orang yang menonjol dalam ilmu
pengetahuan dan kesusastraan. Gedung perpustakaan Baitul Hikmah pada masanya diperindah
dengan karpet sedang seluruh pintu dan koridornya diberi gorden[15]
perpustakaan ini juga dilengkapi dengan ruang tersendiri untuk para penyalin,
penjilid dan pustakawan.
2.
Staf perpustakaan
Pada masa khalifah
Al-Makmun, ada tiga ilmuwan yang tercatat sebagai pustakawan di Baitul Hikmah.
Tanggung jawab mereka adalah memimpin keseluruhan lembaga Baitul Hikmah yang
tidak hanya sebatas perpustakaan saja. Dalam satu masa Baitul Hikmah
mempekerjakan lebih dari satu pustakawan yang mempunyai kedudukan sejajar.
Diantara pustakawan itu adalah Salma, Sahl ibnu Harun, dan Hasan ibn Marar
Al-dzabi. Perpustakawan Baitul Hikmah mempekerjakan orang islam dan non-islam
sebagai staf perpustakaan. Mereka adalah Qusta ibnu Luqa, Yahya ibnu Adi
(dokter berkebangsaan India) juga Musa Al-Khawarizmi yang merupakan
matematikawan terkenal dan penemu aljabar serta cendekiawan muslim terkemuka
Al-Kindi juga pernah bekerja disana.[16]
Selain ilmuwan dan pustakawan, Baitul
Hikmah juga mempekerjakan para penyalin dan penjilid buku. Penjilid paling
terkenal dari Baitul Hikmah adalah Ibnu Abi Al-Harris yang bekerja pada masa
pemerintahan Al-Makmun. Sedangkan penyalin terkenal adalah Abu Sahlu Al-Fadhlu
ibnu Nubak dan ‘Allan Al-Syu’ubi. Pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang
penyalin buku yang tidak memberikan tambahan sesuatu, tulisan atau kreasi yang
baru atau yang hanya bertugas sebagai penyalin buku saja dapat dibayar dengan
imbalan 2000 dirham ( sekitar Rp. 134.000.000,00) setiap bulannya.
3.
Metode Pendidikan
Metode pendidikan
yang digunakan dalam pendidikan di Baitul Hikmah dibuat dalam dua aturan, yaitu
metode muhadharah (ceramah), juga metode dialog dan wacana debat.
Guru-guru yang mengisi ceramah-ceramah perkuliahan berada ditempat yang besar,
kemudian guru itu naik ditempat yang tinggi dan murid-muridnya berkumpul
menjadi satu. Guru menerangkan kepada murid-murid materi yang diuraikan dalam
muhadharah, lalu mereka berdialog sesuai dengan materi bidangnya, ketika itu,
ustad atau syeikh menjadi rujukan akhir dari materi. Selanjutnya murid-murid
berpindah dari satu halaqah ke halaqah lain dan mempelajari berbagai cabang ilmu
dalam tiap-tiap halaqah tersebut. Pendidikan di Baitul Hikmah meliputi
cabang-cabang ilmu seperti ilmu filsafat, falak, kedokteran, matematika juga
berbagai macam bahasa seperti Yunani, Persia dan India disamping bahasa arab.
Setelah lulus dari Baitul Hikmah, mereka diberi ijazaholeh para guru. Ijazah
itu sebagai bukti bahwa mereka telah mendalami ilmu tersebut dan bahkan
memperoleh izin untuk mengajar. Ijazah juga diberikan bagi mereka yang mendapat
peringkat istimewa dalam pelajarannya. Ijazah itu hanya berhak diberikan dan
ditulis oleh guru yang bersangkutan. Dalam ijazah tersebut terdapat nama murid,
syaikhnya, mazhab fikihnya, serta tanggal dikeluarkannya ijazah tersebut.[17]
4.
Biro Penerjemahan
Era penerjemahan
oleh dinasti Abbasiyah dimulai sejak 750 M dan terrus berlangsung sepanjang
abad kesembilan dan sebagian besar abad kesepuluh. Dalam hal inilah Baitul
Hikmah menunjukkan fungsinya yang paling utama selain sebagai perpustakaan.
Aktifitas penerjemahan di Baitul Hikmah mendapat dukungan penuh dari khalifah
Abbasiyah antara lain dengan memberikan imbalan atau gaji sangat besar bagi
para penerjemahyang bekerja di lembaga tersebut. Al-Makmun menyediakan biaya
dan dorongan yang kuat untuk mencapai kemajuan besar di bidang ilmu. Salah
satunya adalah gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari Yunani dan Suriah ke
dalam bahasa arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi, matematika dan filsafat
alam secara umum. Ahli-ahli penerjemah yang diberi tugas oleh Al-Makmun diberi
imbalan yang layak. Para penerjemah lain diantara lain Yahya bin Abi Manshur,
Qusta bin Luqa, Sabian bin Sabit bin Qura,dan Hunain bin Ishaq yyang diberi gelar Abu Zaid Al- Ibadi
(194-263 H/ 810-887 H) Hunain bin Ishaq adalah seorang ilmuwan nasrani yang
mendapat kehormatan dari Al-Makmun untuk menterjemahkan buku-buku dari Plato
dan Aristoteles. Al-Makmun juga pernah mengirim utusan ke raja Roma, Leo
Armenia untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani kuno yang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa arab. Penerjemahan pertama dimulai dari buku
berbahasa Suriah, yaitu buku-buku Yunani yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Suriah. Setelah itu baru penerjemahan karya Yunani ke dalam Bahasa Arab,
terutama dalam bidang ilmu kedokteran dan astronomi yang diperlukan untuk
menentukan arah kiblat bagi umat islam. Gerakan penerjemahan ini kurang lebih
berlangsung selama 100 tahun. Buku proyek utamadan istimewa pada proyek utama
pada proyek penerjemahan yang dilakukan di Baitul Hikmah adalah tentang buku
politik. Dalam waktu yang tidak begitu lama, Hunain bin Ishaq berhasil
menerjemahkan buku-buku tersebut menjadi sebuah kitab dalam bahasa arab dengan
judul Assiyasah.[18]
5.
Koleksi
Koleksi buku
perpustakaan berjumlah 400 hingga 500 ribu jilid dengan ribuan judul ilmu
pengetahuan. Pada awal berdirinya perpustakaan ini mengoleksi ilmu-ilmu kuno
yaitu filsafat hellenistik dan ilmu alam. Selain karya-karya asing, buku karya
ilmuwan muslim sendiri jga ada diperpustakaan ini. Cikal bakal perpustakaan
Baghdad adalah Al-Manshur (754-775 M) ia memulai kegiatan ilmu ini dengan
memerintahkan penerjemahan buku-buku asing. Buku-buku diperoleh melalui
penerjemahan dan beberapa tambahan diberikan sebagai hadiah oleh khalifah.
Koleksi buku yang ditulis karena permintaan dan
juga bahwa dalam pentransimisian naskah dalam setiap salinan
dianggap sebagai suatu edisi baru yang terpisah dari buku tersebut. Dalam
bukunya Bahya Mustafa’ulyan juga mengatakan bahwa koleksi buku yang terdapat
pada perpustakaan Baitul Hikmah bermacam-macam terdiri dari koleksi buku Turos
(kitab lama), sejarah, terjemahan buku-buku ilmiah, falaq, kimia, kedokteran,
matematika, filsafat dan sastra.[19]
D. Penutup
Khalifah Al-Makmun, pengganti Ar-Rasyid dikenal sebagai khalifah
yang sangat cinta pada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penterjemahan buku-buku
Yunani, Al-Makmun menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan
penganut agama lain yang ahli. Al- Makmun banyak mendirikan sekolah dan salah
satu karya yang terpenting dalam pembangunan Bait Al-Hikmah. Baitul hikmah merupakan perpustakaan besar
islam yang didirikan pada awal abad IX M oleh khalifah Harun Ar-Rasyid yang terletak di jantung kota Baghdad. Usaha
Ar-Rasyid kemudian diteruskan oleh anaknya Al-Makmun, perpustakaan itu dikenal
dengan sebutan “Darul Ilmi” atau “
Baitul Hikmah” yaitu suatu lembaga yang menyerupai universitas yang bertujuan
untuk membantu perkembangan ilmu, mendorong penelitian, dan mengurusi
terjemahan teks-teks penting. Baitul
hikmah merupakan perpustakaan yang juga berfungsi sebagai pusat pengembangan
ilmu pengetahuan. Adapun pengelolaan Baitul Hikmah itu meliputi gedung bangunan
Baitul Hikmah, staf perpustakaan, metode pendidikan, biro penerjemah dan juga
koleksi-koleksi buku yang ada di Baitul Hikmah.
Daftar Pustaka
Danandjaja,
Folkar Indonesia: Ilmu Gosip, dongeng dan lain-lain, ( Jakarta: Grafiti pers, 1984)
Ali
Sodiqin, Dudung Abdurrahman,dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik
hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2003.
Hamka,
Sejarah Umat Islam II, ( Jakarta: Bulan Bintang)
Hepi
Andi Basthoni, Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008)
Johanes
Pederson, Fajar Intelektualisme: Buku dan Sejarah Penyebaran Informasi di
Dunia Arab (Bandung: Mizan, 1996)
Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992)
Nining
Sudiar, Pengelolaan Perpustakaan Baitul Hikmah, Volume 11, No. 1 Agustus
2014, ( Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru)
Nursapia
Harahap, Penelitian kepustakaan, Jurnal Iqra’ volume 08 No. 01 Mei 2014, (
IAIN-SU Medan )
Ranup
Selaseh. Sejarah Baitul Hikmah- Bait Al-Hikmah. Dalam http://ranup-selaseh.blogspot.com/2013/07/sejarah
-baitul-hikmah-bait-al-hikma.html, di akses 17 Mei 2014
pukul: 12:18 wib
Risa
Rizania, Bait Al-Hikmah pada masa Dinasti Abbasiyah, (Universitas
Indonesia: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2012)
Syaikh
Muhammad Al- Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah, Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2016
Sukmadinata,
Metode penelitian Pendidikan, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013)
W.
Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1990)
Yusuf
Al-Qardlawi, Distorsi Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
[4]
Baitul hikmah didirikan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid yaitu khalifah
kelima Dinasti Abbasiyah yang kemudian disempurnakan oleh putranya khalifah
Al-Makmun pada abad ke empat. Baitul Hikmah berfungsi sebagai pusat
perpustakaan sekaligus observatory, disitulah para ilmuwan muslim sering
berkumpul untuk melakukan kajian-kajian ilmiah. Khalifah Ar-Rasyid yang
kemudian diikuti Al-Makmun secara aktif selalu ikut dalam pertemuan-pertemuan
itu. Ranup Selaseh. Sejarah Baitul Hikmah- Bait Al-Hikmah. Dalam http://ranup-selaseh.blogspot.com/2013/07/sejarah
-baitul-hikmah-bait-al-hikma.html, di akses 17 Mei 2014 pukul: 12:18 wib
[5]
Johanes Pederson, Fajar Intelektualisme: Buku dan Sejarah Penyebaran
Informasi di Dunia Arab (Bandung: Mizan, 1996) hal. 50
[7]
Danandjaja, Folkar Indonesia: Ilmu Gosip, dongeng dan lain-lain, ( Jakarta: Grafiti pers, 1984) hal. 28
[8]
Nursapia Harahap, Penelitian kepustakaan, Jurnal Iqra’ volume 08 No. 01 Mei 2014, (
IAIN-SU Medan ) hal. 69
[9] Syaikh Muhammad Al- Khudhari, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2016, hal. 313
[10]Ibid, hal. 314
[11]
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990) hal. 49
[13]
Ali Sodiqin, Dudung Abdurrahman,dkk, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa
Klasik hingga Modern, Yogyakarta: LESFI, 2003, Hal. 105
[14]
Nining Sudiar, Pengelolaan Perpustakaan Baitul Hikmah, Volume 11, No. 1
Agustus 2014, ( Universitas Lancang Kuning, Pekanbaru) hal. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar